Hikmah Hari ke – 18 Oleh : DR Sabhara Nuruddin.
Slogan Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Tanpa Dibarengi Dengan Optimalisasi Akal Hanyalah Pepesan Kosong Yang Membuat Orang Menjadi “Mabuk Agama”.
M-BhargoNews. Com
Al-Qur’an (3)
Bulan Ramadhan yang agung dipilih oleh Allah sebagai momentum perdana untuk membumikan Kalam-Nya.
Ayat perdana sekialgus perintah perdana adalah iqra yang berarti bacalah dan kumpulan KalamNya tersebut kemudian diberi nama Al-Qur’an yang berarti bacaan. Hal ini menyiratkan pesan bahwa pengetahuan atau ilmu merupakan faktor paling primer bagi manusia untuk dapat memahami seluruh firman Tuhan.
Esensi yang membedakan manusia dengan yang bukan manusia adalah kemampuannya mencerap ilmu pengetahuan secara total. Kemuliaan Adam as sebagai manusia biologis pertama adaah kemampuan pengetahuannya mengenai hakikat (nama-nama) segala sesuatu yang membuat malaikat harus sujud takzim kepada adam as (QS. al-Baqarah 33-34). Pencapaian akan ilmu sebagai aktivasi esensi manusia menyebabkan manusia meraih derajat kemuliaan, sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam surat al-Mujadalah ayat 11. “Adakah sama orang yang mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. al-Zumar:9).
“Manusia adalah hewan yang berakal”, demikian kata sebuah pepatah bijak yang disandarkan pada Aristoteles. Melalui firmanNya dalam al-Zumar ayat 9 tersebut secara eksplisit Allah menyebut akal sebagai instrumen untuk mendapatkan pelajaran. Hal ini ditegaskan pula dalam surat al-Baqarah ayat 269 tentang anugerah hikmah kepada orang yang dikehendaki Allah dan Allah mengunci ayat tersebut dengan kalimat, “ dan hanya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
Ketika sebagian orang berpandangan bahwa iman kerap paradoks dengan akal, dalam surat Yunus ayat 100 justru dikatakan, “Dan tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah dan Allah menimpakan kehinaan kepada orang-orang yang tidak menggunakan akalnya”. Pada ayat tersebut Allah menggunakan kata “rijsa” kepada orang-orang yang tidak menggunakan akal.. Kata rijs (rijsun min amali syaitan) juga dipakai oleh Allah ketika menyebutkan orang-orang yang berjudi, berkurban untuk berhala, mengundi nasib dan minum khamr dalam surat al-Maidah ayat 90. Kata rijs bermakna kotor atau hina. Dengan demikian, orang yang tidak mempergunakan akal adalah orang yang kotor atau hina seperti orang yang kehilangan akalnya karena mabuk.
Secara etimologis akal berasal dari kata ‘aqala yang berarti mengikat atau menahan, yaitu mengikat dan menahan realitas untuk menjadi pengetahuan di dalam jiwa. Menurut Prof. Quraish Shihab, Al-Qur’an menggunakan kata akal untuk sesuatu yang mengikat atau menahan seseorang dari terjerumus pada kesalahan atau dosa. Kata akal secara eksplisit disebutkan sebanyak 49 kali dalam Al-Qur’an dan selalu dalam bentuk kata kerja (bukan kata benda). Kata akal dalam bentuk ta’qilun disebut sebanyak 24 kali, ya’qilun 22 kali, aqaluh na’ qil dan ya’qiluha masing-masing satu kali. Hal ini belum termasuk penggunaan kata-kata yang sepadan, semisal tadabbaru, yafkahu, nazara, tafakkaru, ulil albab dan lainnya. Jika disimpulkan, penggunaan kata akal dalam Al-Qur’an dapat dipahami dalam tiga pemaknaan, yaitu; daya untuk memahami, dorongan moral dan daya untuk mengambil pelajaran, hikmah serta kesimpulan.
“Rasulmu adalah juru terjemah akalmu” kata Sayyidina Ali bin Abu Thalib, dalam sabda yang lain beliau berkata, “akal adalah rasul dalam dirimu”. Petunjuk Allah dan teladan Rasulullah (dalam bahasa Al-Qur’an disebut Hikimah) tak akan mungkin dipahami dan diamalkan tanpa penggunaan akal sebagai kerja epistemologi yang bersifat primer.
Slogan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah tanpa dibarengi dengan optimalisasi akal hanyalah pepesan kosong yang membuat orang menjadi “mabuk agama”. Begitu primer dan fundamennya kerja akal dalam menggapai petunjuk, maka ayat perdana dalam Al-Qur’an adalah seruan untuk “membaca” (iqra’).
Berkaitan dengan puasa sebagai perintah menahan, pada dasarnya adalah perintah terhadap akal manusia untuk menahan keliaran hawa nafsu, sehingga kita tertahan dari berbuat dosa. Melalui puasa nafsu diikat agar bisa dikendalkan oleh akal yang karenanya mengantarkan ruhani manusia untuk ”menuhan”. Puasa sebagai optimalisasi kerja akal untuk menahan hawa nafsu itulah puasa yang disebut “menuhan” bukan sekadar puasa yang hanya menahan. Puasa yang “menuhan” adalah sinergitas akal, petunjuk Al-Qur’an dan keteladanan Muhammad saw sebagai “triadik” kebenaran yang paripurna. Oleh karena itu, sempurnakanlah puasa kita agar “menuhan” dengan membaca ayat-ayat Tuhan (yang tersurat maupun tersirat) dan memperbanyak shalawat kepada Sang Junjungan rasulullah Saw.
“One day one juz and one day one hundred shalawat.”
Oleh : DR sabhara Nuruddin-peneliti di Balai Litbang Makasar.