Akhir akhir ini pohuwato riuh dengan orang orang yang menamakan dirinya aktifis, lalu mengkritisi para aktifis lainnya entah dengan kacamata objektif tanpa tendensi, ataukah kacamata penuh kepentingan, entah itu kepentingan membela sang majikan, ataukah karena tendensi balas budi.
Beberapa waktu lalu ada aktifis perempuan pohuwato yang mengkritisi cara menyampaikan pendapat oleh sekelompok pemuda yang mempressure indikasi korupsi didesanya. Terakhir ada aktifis yang mantan ketua KPMIP yang mengkritisi substansi persoalan yang diangkat oleh Aktifis Barakuda, sebuah aliansi yang dibentuk dari 2 LSM yakni LSM LABRAK dan LSM Pohuwato Watch terkait kinerja Institusi Baperlitbang Pohuwato agar meperbaiki kinerjanya karena ditengarai perencanaan pohuwato hanya menghasilkan pembangunan yang jauh dari nilai transparansi, efisiensi dan utility.
Sebagai kader LSM LABRAK tak salah jika saya menilai kritikan yang dilayangkan oleh mantan ketua KPMIP ini sangat subjektif, tendensius dan penuh kepentingan. Jika dianggap apa yang kami sampaikan terkait Kinerja Baperlitbang Pohuwato tidak melalui kajian dan bias, menurut saya harus jelas dulu, kapasitasnya apa? Apakah dia Juru Bicara Baperlitbang ataukah Jubirsus Pejabat tersebut? Masih tanda Tanya bagi saya. Sementara sebagai aktifis, seharusnya dikaji dan dimintai klarifikasi dulu kepada kami yang menyampaikan aspirasi bukan lantas secara sepihak menyimpulkan bahwa tuntutan kami tak melalui kajian dan bias. Itu artinya dia merasa lebih tahu apa yang kami maksudkan. Padahal sebagai akademisi, sikap merasa paling tahu seperti ini justru membunuh intelektualitas dan paradigma berfikir setiap manusia. ingat, ada pepatah berbunyi ” merasa pintar itulah kebodohan yang hakiki ”
Sebenarnya, secara kasat mata, buruknya kinerja Baperlitbang Pohuwato sangat nyata terlihat pada Proyek Rehabilitasi Bundaran Blok Plan pada tahun 2018 yang menghabiskan anggaran sebesar 200 juta rupiah yang kemudian dibongkar lagi pada Tahun 2020 karena Proyek Revitalisasi Bundaran Panua dengan anggaran 750 Juta Rupiah. Proyek Bongkar pasang bundaran panua seperti permainan puzzle, tapi konsekwensinya adalah mubazirnya uang Negara sebesar 200 Juta pada Proyek Rehabilitasi Bundaran Blok Plan yang akhirnya sia sia. Ini membuktikan perencanaan pohuwato tidak mengedepankan sisi efektifitas anggaran.
Pada sisi transparansi, sikap kepala Baperlitbang bisa diamati pada saat aktifis Pohuwato Watch bersama Seorang jurnalis yang hendak mencari informasi tentang obat kadaluarsa di gudang Dinas Kesehatan yang pada saat itu Kepala Baperlitbang adalah juga Kadis Kesehatan, yang tak merespon secara terbuka terhadap permintaan informasi ini, diperkuat dengan fakta ketika kami melakukan aksi unjuk rasa di dinas kesehatan dan disaat kami minta data obat kadaluarsa, dijawab oleh sang kepala Dinas Kesehatan yang pada saat itu Kepala Baperlitbang menanyakan kapasitas dan kompetensi kami, menjadi signal bagi kami bahwa data itu tak akan diberi. Sebuah nilai transparansi yang buruk menjadi catatan kami terhadap pejabat ini. Ingat, Persekongkolan selalu berawal dari lorong-lorong gelap yang jauh dari jangkauan publik !!!
Soal perencanaan yang tak menjunjung tinggi nilai utility terpampang jelas pada pembangunan IPAL Puskesmas Marisa di gedung lama dengan anggaran 700 juta rupiah yang dibangun pada tahun 2019, tapi kemudian pada tahun 2020 aktifitas Puskesmas marisa berpindah dari gedung lama ke gedung baru yang jaraknya berjauhan berdampak pada tidak bergunanya IPAL Puskesmas marisa tersebut. Hal ini menjadi bukti konkrit bahwa perencanaan pohuwato dibuat serampangan hanya mengejar akreditasi sebagai tujuan pencitraan dengan mengabaikan nilai utility.
Kacamata inilah yang menjadi barometer pengukur sehingga kami menilai bahwa perancanaan di pohuwato sangat amburadul dan Institusi BAPERLITBANG-lah yang paling bertanggung jawab.
Jika mengklaim keberhasilan baperlitbang pohuwato dari penghargaan WTP, dan seabreg penghargaan yang selama ini dibangga banggakan, kami sama sekali tak hanyut dengan penghargaan tersebut karena menurut saya, dari banyaknya kasus supa dalam mekanisme pemberian status WTP, maka berani kami menyimpulkan bahwa penghargaan penghargaan tersebut sering sarat dengan kasus kasus suap demi kepentingan pencitraan.
Masih ingat dengan dua pejabat BPK yang jadi tersangka karena diduga menerima suap dari pihak Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi…?? Ini bukti bahwa penghargaan WTP sangat rentan dengan suap menyuap. Sehingga sebaiknya mantan ketua KPMIP ini tak terlalu bangga dengan penghargaan penghargaan itu. Bagi kami penghargaan penghargaan itu hanya semakin membuktikan bahwa ada kejahatan keuangan Negara sedang dibungkus rapi oleh para perampok uang Negara di pohuwato ini, dilakukan terstruktur, tersistematis dan massive….
Saran saya, jika mau mengomentari orang lain, berkacalah!!!!
Jangan sampai anda bias menilai gerakan kami, seperti biasnya anda mengamati praktek praktek kotor para oknum birokrat yang hari ini sedang berleha leha dengan uang hasil korupsi….