Diduga Ada Penyimpangan Dana Perda Haji, Mantan Anggota DPRD Sulut Desak Polda Lakukan Penyelidikan
H. Sultan : Kalau benar, ini bukan sekadar maladministrasi, tapi bisa berpotensi sebagai tindak pidana korupsi

M’Bhargo,Sulut- Dugaan penyimpangan dana, dalam pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pembiayaan Haji di Sulawesi Utara (Sulut) mencuat ke publik. Hal ini diungkap oleh H. Sultan Udin Musa, S.H., mantan anggota DPRD Sulut dua setengah periode, yang menyoroti ketidakjelasan alokasi anggaran dan pelaksanaan subsidi biaya perjalanan lokal bagi jamaah haji tahun 2024.
Perda yang disahkan pada November 2024 atas inisiatif anggota DPRD Amir Liputo ditujukan untuk, meringankan beban biaya transportasi lokal jamaah haji dari Manado menuju embarkasi dan sebaliknya, melalui dukungan APBD Provinsi Sulut. Namun, menurut Sultan, implementasinya tidak sesuai dengan semangat awal regulasi.
“Waktu saya berhaji tahun 2007, seluruh biaya lokal ditanggung sendiri. Sekarang, sudah ada Perda dan dukungan APBD, tapi jamaah tetap dibebani penuh,” kata Sultan saat ditemui di Manado.Kamis (08/05/25)
Informasi yang diterimanya menyebutkan, bahwa total biaya perjalanan lokal disepakati sebesar Rp7.542.000 per jamaah, itu diluar Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) utama yang mencapai sekitar 55 juta rupiah . Dengan jumlah jamaah asal Sulut sebanyak 713 orang, kebutuhan dana untuk pembiayaan lokal ditaksir mencapai lebih dari 5 miliar rupiah.
Namun, berdasarkan keterangan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulut, Ulyas Taha, Pemprov Sulut hanya mengalokasikan 3 miliar rupiah dari APBD. Sisanya, sekitar 2 miliar rupiah disebut sebagai tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota. Hal ini justru menimbulkan pertanyaan, karena jamaah tetap diminta membayar penuh biaya lokal.
“Kalau sudah ada Rp 3 miliar dari APBD, kenapa jamaah masih harus membayar? Ini yang perlu diusut. Jangan sampai ada dana yang tidak jelas peruntukannya,” tegas Sultan.
Lebih lanjut, Sultan mengungkap adanya informasi bahwa dana dari jamaah tidak disetorkan ke rekening resmi Kementerian Agama, melainkan ke rekening pihak-pihak tertentu. “Kalau benar, ini bukan sekadar maladministrasi, tapi bisa berpotensi sebagai tindak pidana korupsi,” ujarnya.
Atas dugaan tersebut, Sultan mendesak aparat penegak hukum, khususnya Polda Sulut, untuk segera melakukan penyelidikan menyeluruh. “Jika diperlukan, saya siap menyerahkan data yang saya miliki. Ini bukan demi kepentingan pribadi, tapi demi menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah,” ujarnya.
Saat dikonfirmasi, Kepala Kanwil Kemenag Sulut Ulyas Taha menegaskan bahwa kewenangan dan tanggung jawab anggaran pembiayaan lokal berada di tangan pemerintah daerah, bukan di Kementerian Agama.
“Biaya lokal itu memang sekitar Rp7,5 juta per jamaah. Pemerintah provinsi bantu Rp2,6 miliar. Silakan dihitung, itu hanya cukup sekitar Rp 3 jutaan per orang. Sisanya? Ya, itu urusan jamaah dengan pemda. Jangan tanya ke kami,” kata Taha.
Ia juga menegaskan bahwa bantuan dana dari pemerintah diberikan langsung kepada jamaah, bukan ke Kementerian Agama. “Jangan sampai ada narasi seolah-olah ada penyimpangan oleh Kemenag. Kami sedang fokus mengurus visa dan kloter. Jangan diganggu dengan tudingan yang tidak berdasar,” tandasnya.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran publik terkait transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan Perda Haji. Penelusuran hukum yang objektif menjadi penting untuk menjawab kecurigaan dan menjamin keadilan bagi jamaah haji Sulut.
( Jansen)