Oleh : Tutun Suaib, SH
Praktisi Hukum & Ketua YLBHI Cab. Gorut
M-bhargonews, Gorontalo. Pelaksanaan PSBB Gorontalo yang sudah sepekan menimbulkan banyak pro dan kontra dalam pelaksanaannya. Salah satu Advocad yang juga Ketua YLBHI Gorontalo Utara (Gorut) Tutun Suaib, SH ikut mengkritisi penerapan sanksi yang akan dikenakan kepada pelanggar PSBB. Dalam realeas yang di terima redaksi, Tutun menyampaikan bahwa masyarakat tidak bisa diberikan sanksi pidana terhadap pelanggar PSBB, ini menjadi titik lemah pelaksanaan PSBB. Sanksi bisa dijatuhkan oleh UU (Undang Undang), sedangkan peraturan yg diterapkan sebatas Permen, PP, Pergub tdk bisa menjatuhkan sanksi pidana. Sedangkan sanksi paling tinggi yaitu denda, itupun dalam bentuk Perda tapi bukan Pergub.
Kita ketahui bersama Pemda dapat izin PSBB untuk memudahkan megeluarkan Pergub.
Indonesia sendiri punya tiga UU yang bisa digunakan dalam konteks penanganan Covid 19 yakni UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit & UU Kekarantinaan Kesehatan. Jika penerapanya mengacu pada UU Wabah Penyakit ada sanksi pidananya, tapi yg diterapkan oleh Pemerintah sekarang bukan itu, melainkan UU Kekarantinaan Kesehatan, ini yang dijadikan acuan untuk menerbitkannya PP mengenai PSBB, namun tdk merujuk pada UU Kesehatan & UU Wabah Penyakit.
Aparat penegak hukum tidak bisa menerapkan sanksi, jika Pemerintah menerapkan karantina wilayah yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Jika berbicara UU Kekarantinaan Kesehatan sanksi pidana sama sekali tdk ada.
Dalam PSBB, polisi bisa dilibatkan apabila pemerintah memberlakukan karantina wilayah, maka disitulah ada kewenangan polisi bertindak.
Kapolri benar mengeluarkan maklumat tapi sebatas pengumuman biasa,bukan sebagai perintah tegas yg berkekuatan hukum untuk menjatuhkan sanksi pada pelanggar.
Jadi mengumumkan sesuatu, harus kita lihat isi maklumat, sebab maklumat sejatinya hanya berbentuk pengumuman tdk lebih dari itu,ini bukan suatu perintah yang tegas & tidak ada sanksi.
Kemudian ada resistensi dari masyarakat jika aparat penegak hukum menjalankan tugas, maka aparat penegak hukum tidak punya dasar hukum menguatkan tindaknya.
Jangan kaget ketika ada perlawanan, orang berkumpul, ojek, penjual, apalagi berboncengan berdua diatas motor, lalu dibubarkan dengan paksa dan atau ditindak tegas, lalu masyarakat mengatakan apa dasar hukumnya melakukan tindakan pelarangan dan atau pembubaran,? karena yg berlaku hanya PSBB tapi bukan Karantina Wilayah, jadi perlu kita pahami bersama bahwa apa yang kita jalankan tidak punya dasar hukum & ini titik lemah diterapkanya PP tentang PSBB.
Dalam UU Kekarantinaan Kesehatan No 6 Tahun 2018 telah diatur sanksi pidana, dimana pelanggar diancam pidana penjara maksimal 1 tahun denda paling banyak Rp 100 juta, tapi sanksi itu hanya bisa diberikan, jika diberlakukan karantina wilayah, tapi bukan dlm konteks PSBB, sebab PSBB tdk ada sanksi.
Seharusnya pemerintah mengevaluasi penerapan PSBB, untuk mengetahui dampak penanganan Covid 19, sebab hal tersebut sangat penting untuk mengetahui dampaknya, karena tidak ada perbedaan antara penerapan PSBB & himbauan jarak jarak.
Memang tidak terlalu prinsipil perbedaanya, ini hanya pembatasan pergerakan orang & barang.
Yang dapat dilakukan hanya peliburan sekolah, pekerjaan, pembatasan kegiatan ibadah, pertemuan umum, ini tdk begitu mencolok perbedaanya dengan “Social Distancing”.
Kita harus lihat, apakah PSBB efektif menekan penyebaran Covid 19? kita bisa lihat dari perkembangan pasien positif & jumlah korban jiwa.
Jika PSBB tidak efektif,maka pemerintah harus mampu mengambil langkah lain yaitu karantina wilayah, tapi perlu diketahui karantina wilayah cukup berat, mengingat konsekuensi besar harus ditanggung pemerintah, terutama tingkat perekonomian & keberlangsungan hidup masyarakat dalam hal menopang kehidupan sehari-hari. (AFS)