Hikmah Hari ke 14 . Oleh : DR Sabhara Nuruddin
M-BhargoNews. Com
Menurut Muthahhari, takwa sebagai kekuatan ruhani yang sublim menjadi sebab dari lahirnya daya tarik dan daya tolak tertentu. Yaitu daya tarik terhadap nilai dan karakter spiritual yang mencerahkan serta daya tolak atas nilai dan prilaku materialistik yang merendahkan.
Diantara karakter spiritual yang dibentuk oleh kualitas takwa tercermin dalam empat karakter utama yang direpresentasikan melalui simbolitas huruf yang membentuk kata takwa (ta, qaf, waw dan alif). Huruf ta sebagaimana pembahasan sebelumnya melambangkan sifat tawaduk atau rendah hati.
Huruf qaf merupakan perlambang sifat qanaah (EYD: kanaah) yaitu sikap rela hati menerima segala bentuk kenyataan yang terjadi pada dirinya sebagai ketentuan yang terbaik dari Allah.
Kanaah bukan berarti sikap apatis atau kepasrahan yang pasif. Sikap kanaah berkaitan erat dengan sikap syukur atas semua anugerah Allah dan karakter hidup zuhud atau bersahaja dalam menjalani laku hidup di dunia. Kanaah melahirkan kekuatan aktif dalam menerima dan menyikapi kenyataan yang dihadapi.
”Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin”, seperti itulah prinsip orang yang kanaah. Kenyataan yang terjadi sesulit apa pun bukan untuk diratapi, atau berlarut-larut dalam kesedihan yang panjang.
Menerima kenyataan yang hari ini bersama kita hadapi, berupa pandemi Covid-19 yang membuat segala ruang gerak kita terbatasi, bukan dengan sekadar “rebahan” yang pasif atau terus-menerus menunjukkan kegalauan yang cengeng.
Prasangka baik kepada Allah dan muhasabah diri menjadi kata kunci sehingga kenyataan sesulit apa pun yang dihadapi justru menghadirkan sesuatu yang terbaik. Stay at home dalam jangka waktu yang tak pasti mungkin nmembuat kita sangat nelangsa, tapi untuk apa berlarut-larut dalam kebosanan yang tak menghasilkan produktivitas?.
Kanaah merupakan rasa syukur yang memantik kreativitas berpikir dan melahirkan tindakan produktif, Banyak hal yang bisa kita lakukan dengan hanya di rumah, karena rumah hanya membatasi ruang gerak fisik kita, tapi jangkauan berpikir dan kreativitas pengkhidmatan tak pernah dibatasi oleh ruang gerak fisik yang sempit sekalipun. Menurut Sayyidina Ali, diantara karakter orang bertakwa adalah al-qana’atu bil qalil atau merasa cukup dengan hal yang sedikit, sehingga melahirkan rasa penuh syukur, dan membuat kita jauh dari karakter materialistik. Orang yang bersyukur Allah akan tambahkan nikmat (QS. Ibrahim:7) dan nikmat yang pasti Allah tambahkan bagi orang yang bersyukur adalah hati yang dipenuhi kecukupan dan kebahagiaan yang senantiasa menghiasi jiwa.
Huruf waw melambangkan makna wara’ (EYD: warak), yaitu sikap hidup yang cermat dan penuh kehati-hatian. Orang yang bertakwa seperti orang yang berjalan di antara duri, sehingga ia melangkahkan kaiki dengan penuh kehati-hatian (Sayyidina Ali). Sikap warak merupakan hasil refleksi dari kecemerlangan akal yang dianugerahi furqan atau kemampuan membedakan antara yang haq dan batil serta antara yang membawa maslahat dan yang memberi dampak mudarat. Dalam konteks menyikapi pandemi, kewarakan ditunjukkan dengan ketaatan menjalankan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh mereka yang memiliki otoritas, dalam hal ini aturan medis dan kebijakan peemrintah.
Orang yang warak tidak akan sembrono untuk melanggar aturan dan kebijakan yang telah ditetapkan karena jelas baginya mudarat yang akan ia alami dengan melakukan pelanggaran tersebut. Tetap stay at home, tidak memaksakan diri berjamaah di masjid serta taat mengikuti prosedur kesehatan selama pandemi ini merupakan bentuk operasional dari sikap warak. Karena warak berarti menjaga diri dari melakukan kemudaratan demi mendapatkan kemaslahatan untuk diri sendiri maupun untuk orang di sekitar.
Menurut Imam Ali Zainal Abidin, “warak seberat zarrah (atom) jauh lebih baik dari melakukan salat dan puasa sebanyak seribu kali”.
Huruf alif melambangkan makna sikap ikhlas sebagai karakter fundamental dari seseorang yang bertakwa.
Ikhlas merupakan capaian pucnak dari Tauhid praktis, yaitu menjadikan Allah sebagai sebab sekaligus tujuan dari setiap amal perbuatan yang dilakukan.
Secara praktis sikap ikhlas ditunjukkan dengan kestabilan jiwa yang tidak terpengaruh oleh pujian maupun cacian. Orang yang ikhlas “bila dipuji tidak membuat tinggi hati dan dicaci tak mengusik emosi”. “Berbuat baiklah meski orang lain menudingmu mengharap pamrih”, demikian kata sebuah pepatah bijak.
Orang yang ikhlas tidak akan memedulikan omongan orang, karena baginya pujian bukan yang diharapkan dan cacian tak menjadi penghalang. Inilah wujud praktis dari sikap moral yang teosentris (Tuhan sebagai pusat), karena hanya Tuhan yang menjadi motif sekaligus tujuan dari semua amal kebaikan.
Di tengah situasi pandemi ,refleksi dari sikap ikhlas adalah tetap pada koridor menjaga keselamatan dan menebarkan khidmat kebaikan dengan tidak memedulikan nyinyiran orang-orang.
Ibadah puasa yang kita lakukan dengan takwa sebagai capaian hakikatnya adalah membentuk karakter tawaduk, kanaah, warak dan ikhlas.
Apalah arti menahan yang kita lakukan jika membuat kita tidak rendah hati, tak menjadikan kita lapang hati, tak menuntun kita untuk berhati-hati serta tak membentuk kita menjadi manusia yang ikhlas (suci) hati.
Inilah sebaik-baik puasa yang “menuhan” bukan sekadar puasa yang hanya menahan. Dengan puasa yang “menuhan”, maka takwa menjadi capaian, dan karenanya Tuhan akan memberikan jalan keluar dari segala kesulitan dan memberikan rezeki dari arah yang tak pernah disangka-sangka (QS. At-Talaq:2-3).***
Oleh : DR Sabhara Nuruddin, peneliti balai Litbang Makasar.