HOMEKAB. GORONTALOKABAR BHAYANGKARANASIONALPROV. GORONTALO
Trending

Opini !!! Pengisian Wabup Kabgor dan Ancaman Impeachment Untuk Sang Profesor

PAK POS
“Pengisian Wabup Kabgor dan
Ancaman Impeachment Untuk Sang Profesor”

Umar Kariem (UK)

Oleh
Umar Karim
Catatan Dari Kamar Karantina Mandiri

Et tu, Brute?, Kau juga Brutus?. Sepenggal kalimat itu terakhir yang terucap dari bibir pucat pasi Gaius Julius Caesar, ia hampir tak yakin orang terdekatnya tega menghujamkan belati ke dadanya, lalu ia tumbang bersimbah darah di teater Pompey, gedung Senat Romawi, dibunuh oleh orang kepercayaannya, seorang senator Decimus Junius Brutus. Julius Caesar penguasa Romawi, Jenderal besar sekaligus politisi yang berkuasa hampir di separuh daratan Eropa yang membentang dari Gallia Comata hingga Oceanus Atlanticus tahun 49-44 SM, meregang nyawa di ujung belati ambisi politik Brutus. Peristiwa itu menjadi epilog perebutan kekuasaan yang meruntuhkan Republik Romawi. Memang kekuasaan walaupun renyah tapi sungguh teramat gurih sehingga selalu saja menjadi rebutan.

Meski tidak sama dengan yang terjadi di Pompey 2000 tahun lalu, tak pelak pengisian kekosongan jabatan Wabup Gorontalo telah mengkonstruksi politik lokal dalam kontur yang tak mampu menghindar dari situasi “perebutan kekuasaan” hingga riuhnya memekakkan ruang publik. Tarik-menarik antar Papol pengusung hampir setiap hari menghiasi headline media massa hingga membuat bosan membacanya. Bahkan tuduhan kepada seorang pejabat yang juga elit partai sebagai pembohong, tidak komitmen, ingkar janji, menyalahgunakan wewenang dengan mudahnya kita search di Google. Sungguh runyam.

Belum hilang dari ingatan kita berbagai retorika yang menguatkan argumentasi bahwa Wabup tak perlu diisi karena tanpa Wabup atau cukup Bupati saja penyelenggaraan pemerintahan daerah Kabgor berjalan normal. Sebagian publik menduga argumentasi itu dilatarbelakangi mainstream cukup“satu matahari”, sebuah kosa kata baru yang secara lokal dimaknai sebagai peristiwa “pecah kongsi” yang berujung atas impeachment Wabup sebelumnya. Walaupun sebenarnya pengertian idiom “satu matahari” di beberapa daerah lain lebih pada makna “tak mau berbagi” atau satu kendali atas pengelolaan sumberdaya jabatan yang ada.

Akan tetapi tiba-tiba drastis berubah, argumentasi itu berganti dengan pentingnya pengisian Wabup. Bak gayung bersambut, Bupati pun mengusulkan dua calon Wabup kepada DPRD melalui surat No. 100/005/Bag.Pem, tertanggal 3 Jan 2020. Tak terhindarkan, reaksi publik pun menyeruak hiruk-pikuk, bahkan publik makin dibuat bingung. Tak saja publik, salah satu parpol pengusung pasangan calon, Partai Demokrat, yang dulu bersama di atas panggung kampanye bergandengan tangan meneriakan komitmen kebersamaan dalam membangun daerah hingga suara parau, kini geram merasa di tinggal sendiri dalam pengajuan calon. Dalam protesnya Demokrat menganggap Bupati tak lagi bertindak sebagai penerima dan penerus surat akan tetapi telah pula ikut ambil peran dalam menentukan calon. Bahkan dari 2 (dua) nama calon yang diusulkan Demokrat yang sampai ke DPRD praktis tinggal 1 (satu) calon.

Publik kembali ber-presumsi bahwa keinginan kuat, “setengah memaksa” mengisi jabatan Wabup di “injury time” menghadapi Pilkada di latarbelakangi keinginan tidak perlu adanya PLT Bupati dalam Pilkada. Sebab Wabup diduga akan diskenariokan tidak mencalonkan dalam Pilkada sehingga dengan sendirinya Wabup-lah yang akan mengendalikan pemerintahan. Asumsi ini cukup beralasan, karena jika sampai ditunjuk PLT Bupati, maka bisa jadi PLT Bupati tidak seiring sejalan secara politik dengan Petahana sehingga akan sangat mempengaruhi konstelasi politik dalam Pilkada, seperti analisis seorang tokoh di acara dialog yang diselenggarakan DPC Partai Demokrat Limboto. Itu enam bulan lalu tepatnya 5/1/2020.

Sebetulnya problem selanjutnya dalam pengisian Wabup bukan lagi soal tidak sejalannya partai pengusung dengan Bupati akan tetapi permasalah hukum yang timbul dari inproseduralnya pengusulan calon Wabup. Sesuai ketentuan dalam Pasal 176 ayat (1) UU No. 10 Thn 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Thn 2015 tentang Perpu UU No. 1 Thn 2014 tentang Pemilihan Gub, Bup dan Walikota Menjadi UU, disebutkan: “Dalam hal Wagub, Wabup, dan Wawali berhenti karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan, pengisian Wagub, Wabup, dan Wawali dilakukan melalui mekanisme pemilihan oleh DPRD Prov atau DPRD Kab/Kota berdasarkan usulan dari Partai Politik atau gabungan parpol pengusung”. Selanjutnya ayat (2) menyebutkan: “parpol atau gabungan parpol pengusung mengusulkan 2 orang calon Wagub, Wabup, dan Wawali kepada DPRD melalui Gub, Bup, atau Walikota, untuk dipilih dalam rapat paripurna DPRD”. Ketentuan tersebut tidak perlu lagi ditafsir karena sudah terang menderang terbaca bahwa untuk pengisian jabatan Wabup yang kosong yang memiliki otoritas penuh mengusulkan 2 (dua) orang calon Wabup kepada DRD adalah parpol pengusung, yakni Demokrat dan PPP.

Jika menginterpretasikan secara sistematis UU No. 1 Thn 2015 yang diubah dengan UU No. 10 Thn 2016, tata cara pengajuan calon oleh partai pengusung dilakukan melalui surat yang ditandatangani oleh para ketua dan para sekretaris partai yang berkoalisi (Pasal 42 ayat 6). Pengertian sederhananya meskipun partai pengusung jumlahnya banyak pengajuan calon cukup dalam satu surat yang ditanda tangani para ketua dan para sekretaris partai tingkat daerah yang bergabung dalam gabungan partai pengusung. Tentu surat usulan tadi wajib dilampiri rekomendasi atau persetujuan dari DPP masing-masing partai. Bukan seperti yang terjadi sekarang justru yang mengusulkan calon Wabup kepada DPRD adalah Bupati sebagaimana surat Bupati tertanggal 3 Januari 2020.

Kata “melalui” pada frasa “parpol atau gabungan parpol pengusung mengusulkan 2 orang calon Wagub, Wabup, dan Wawali kepada DPRD melalui Gub, Bup, atau Walikota…” dalam Pasal 176 ayat (2) UU No. 10 Thn 2016 adalah penegas bahwa kedudukan Bupati dalam ketentuan itu bak “Pak Pos”, sekedar tempat “dilalui” surat usulan dari Parpol pengusung. Secara teknik administrasi dalam meneruskan surat usulan calon dari Parpol pengusung, Bupati cukup membuat surat pengantar kepada DPRD. Demikian pula karena UU menghendaki cukup 2 (dua) calon sedangkan faktanya calon yang diajukan Demokrat dan PPP melebihi 2 (dua) calon, maka seharusnya yang dilakukan terlebih dahulu adalah penyamaan persepsi antarParpol pengusung untuk menghasilkan 2 (dua) calon sebelum calon itu diusulkan kepada DPRD. Tidak lantas Bupati secara sepihak menentukan siapa yang akan diajukan sebagai calon.

Akan tetapi apapun argumentasi hukum yang dikemukakan terkait persoalan itu dalam demokrasi yang campur aduk dengan politik sesekali alasan itu bisa dibenamkan sepanjang tak memiliki value politik yang cukup dan low risk. Potret telanjang atas keadaan itu dapat dilihat beberapa waktu kemudian di bawah kaki menara di gedung DPRD pergulatan argumentasi sah tidaknya surat usulan Bupati mengemuka dengan beragam alasan. Sungguh riuh, meski akhirnya mayoritas anggota DPRD dalam paripurna sepakat menindaklanjuti surat Bupati usul pengisian Wabup ditengah interupsi fraksi Demokrat. Apapun dalil, pasal dan ayat perundang-undangan yang menjadi alasan fraksi Demokrat dalam paripurna penentunya adalah kalkulasi jumlah yang setuju dan yang menolak dalam pengambilan keputusan. Faktanya kemudian dalil, pasal dan ayat yang dijadikan dasar oleh Fraksi yang menolak terbenam oleh persetujuan mayoritas. Kita mafum adanya, demikianlah demokrasi. Apa yang pernah saya kemukakan dalam tulisan sebelumya “Demokrasi Stunting” kembali memperoleh pembenaran, “demokrasi bukan bicara benar-salah, demokrasi adalah soal banyak dan sedikit” (GP,14/1/2020).

Terlepas dari perdebatan legal tidaknya surat surat Bupati tentang usul Calon Wabup, dengan adanya realitas politik disetujuinya usul tersebut oleh DPRD sudah hampir dipastikan Kabgor tak lama lagi bakal punya Wabup baru. Akan tetapi kemudian tiba-tiba kembali kita dikejutkan oleh sikap 7 Fraksi di DPRD yang berbalik arah, menggunakan Hak Angket. Genting dan mencemaskan, mungkin dua kata itu yang paling tepat menggambarkan situasi perpolitikan di bawah kaki Menara. Betapa tidak, hak angket adalah salah satu hak istimewa yang tidak sembarang digunakan oleh DPRD kecuali dalam keadaan genting dan memaksa. Dalam Pasal 85 ayat (1) UU No. 23 Thn 2014 disebutkan hak angket digunakan dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah menghadapi krisis kepercayaan publik yang meluas karena dugaan melakukan tindak pidana yang terkait dengan tugas, kewenangan, dan kewajibannya. Lebih mengejutkan lagi, penggunaan Hak Angket oleh anggota DPRD adalah dalam rangka melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran peraturan perundang-undangan oleh Bupati dalam mengusulkan calon Wabup. Jika kemudian terterima dan terbukti impeachment terhadap Bupati pun bisa jadi tak terhindarkan.

Di titik ini nalar saya “lambat loading’, meminjam istilah gamer dalam memotret kegamangan saya menelaah pesoalan ini. Saya tidak habis pikir, bagaimana mungkin selama ini masyoritas Fraksi DPRD bersikukuh bahwa surat usulan Calon Wabup oleh Bupati sudah sesuai ketentuan perundang-undangan bahkan melalui rapat paripurna telah ditetapkan untuk ditidanklanjuti akan tetapi kemudian menyatakan surat itu bertentangan dengan perundang-undangan. Ambivalensi, bak syair lagu Kegagalan Cinta, Rhoma Irama, kau yang memulai kau yang mengakhiri, saya benar-benar speechless.

Tak hanya saya, mungkin kita acap kali dibuat terpingkal dan menggeleng tak habis pikir bahkan sesekali mengurut dada menyaksikan episode demi episode dari fragmen panjang pengisian wabup yang seakan tak berujung itu. Meski tak persis sama dengan degalan stand up comedy Kompas TV yang menguras emosi kita setiap kamis, atau mungkin berbeda dengan lakon atas drama karya sang maestro William Shakespeare. Paling tidak kini politik benar-benar telah menjadi seni pertunjukan gratis tanpa standing applause yang gemuruh karena kita sebagai penontonnya selalu dibuat mendongkol. Episode demi episode berlalu, bahkan belum berakhir episode lama, tiba-tiba kita kembali dikejutkan dengan fragmen baru, penggunaan Hak Angket. Nampak narasinya telah bersilangan dan sangat diametral, sebelumnya mayoritas Fraksi sealur pemahaman dengan Bupati soal kewenangan Bupati “memodifikasi” usul calon Wabup dari Partai Pengusung akan tetapi sekarang Fraksi melakukan “bicycle kick” terhadap “modifikasi” itu. Demikian pula Fraksi Demokrat yang dulu berbeda dalam skema pengisian Wabup sekarang sepaham dengan Fraksi lain dalam penggunaan Hak Angket. Dulu bersama sekarang berbeda, dulu berbeda sekarang berteman. Waktulah kemudian yang akan membuktikan apakah pertalian politik itu akan happy ending atau sekedar letupan di sepenggal episode yang tercecer dalam editing. Tapi apapun itu dalam politik hal seperti ini seakan sebuah keniscayaan walau rasionalitas saya terlontar jauh dari pusaran itu. Itulah Politik, yang dulu selalu mencemaskan Immanuel Khant seorang filsuf Jerman dan membuat dia tak tidur nyeyak memikirkannya seperti kegundahan yang dituangkan dalam karyanya Critique of Pure Reason yang ditantang kaum utilitarianisme para borjuis Eropa ketika itu.

Dalam epilog tulisan ini, meski tak memiliki relevansi dengan tulisan ini, saya sekedar ingin mengutip sederet kisah pertalian politik dengan segela konsekuensinya baik klasik dan kotemporer. Seperi keluhan Plato ribuan tahun lalu ketika merasa dipecundangi Aristoteles, “Aristotle is my friend, but my greatest friend is truth”, “Aristoteles teman saya, tapi kebenaran adalah teman lebih baik”, keluh Plato. Demikian pula seorang kawan saya yang sering kami sapa ‘Te Hondo’ seorang politisi yunior, suatu saat ketika menyeduh kopi bersama saya pernah berucap “tak ada kawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan”. Paradoks memang, tapi soal politik selalu saja sarat dengan relativitas dan terkadang absurd bahkan seorang kawan ‘Te Kunju’, begitu panggilannya, setiap mengemontari soal politik global (bukan di sini tentunya) ia berpendapat politik itu adalah ketidakstabilan, politik itu tak menentu. Dalam hubungannya dengan idiom lokal dia menyebut, “Politik itu secara lokal berasal dari kosa kata ‘politea-politeto”. Saya pun hanya bisa tersipu mendengarnya.

Aristoteles, Plato, Te Hondo, Te Kunju adalah personifikasi. Personifikasi wajah politik, wajah politik mereka di sana, mungkin bukan kita di sini…
Wallahu A’lam Bishawab.

Penulis adalah Politisi dan Pemerhati Demokrasi

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button