Uncategorized

Hikmah Hari Ke 16 Oleh : DR Sabhara Nuruddin.

M-BhargoNews.Com

Al-Qur’an (1)

Karena mengemukanya perdebatan inilah, teologi Islam kemudian diberi nama ilmu Kalam.

Tulisan ini tidak hendak membahas seputar perdebatan teologis tersebut, karena tulisan ini terlalu singkat untuk bisa menjelaskan secara panjang lebar seputar perdebatan itu.

Tulisan ini hanya ingin menggaris-bawahi dan sedikit mengulas posisi filosofis Al-Qur’an sebagai Kalam Allah.

Kalam adalah salah satu Nama dan Sifat Allah dan wujud aktualnya adalah rangkaian kalimat yang diwahyukan kepada utusan pamungaksNya, yaitu Nabi Muhamamd saw. Al-Qur’an sebagai aktualisasi Kalam Allah tentu memiliki esensi esoteris atau hakikat batin yang sangat agung yang secara fungsional ditujukan sebagai petunjuk, penjelas serta sebagai furqan bagi manusia (QS. Al-Baqarah:185).

Keagungan esoteris Al-Qur’an sebagai Kalam Ilahi menjadikan Al-Qur’an sebagai buku suci yang mensucikan kehidupan manusia, baik jasmani maupun ruhani. Al-Qur’an merupakan washilah (media/perantara) yang mengantarkan manusia pada kesucian. Dari sinilah bisa dipahami kenapa sangat ditekankan aspek-aspek adab dalam memerlakukan mushaf Al-Qur’an bukan sekadar sebagai benda material yang profan.

Memperlakukan mushaf Al-Qur’an dengan penuh hormat, menciumnya, menjaga kesucian ketika hendak menyentuh dan membacanya serta tidak meletakkannya di bawah benda atau buku yang lain merupakan contoh praktis dari adab tersebut.

Mushaf Al-Qur’an merupakan representasi Kalam Ilahi yang tertuang melalui torehan tinta dalam lembaran-lembaran kertas yang dijilid. Lembaran kertas dan tinta hanyalah piranti material yang hanya bersifat aksiden, namun dibalik itu terkandung keagungan Kalam Ilahi sebagai subtansinya.

Pada suatu ketika seorang ulama Iran (Syarafuddin al-Musawi) bertemu dengan Raja Faisal (raja Arab Saudi), beliau menghadiahi sang raja dengan mushaf Al-Qur’an yang sampulnya terbuat dari kulit kambing.
Ketika raja Faisal menerima mushaf tersebut, spontan ia mencium dan meletakkannya di kepala sebagai tanda penghormatan. Melihat hal tersebut, Syarafuddin al-Musawi kemudian berujar bahwa yang dicium oleh sang raja terbuat dari kulit kambing. Sang raja kemudian menjawab bahwa dia tidak melihat kulit kambingnya, tapi dibalik kulit kambing tersebut adalah Al-Qur’an yang suci.

Al-Qur’an sebagai Kalam Ilahi meniscayakan padanan sebagai personifikasi Kalam Ilahi yang hidup dan personifikasi tersebut adalah sosok rasulullah. Muhamamd bin Abdullah adalah sosok manusia historis yang merupakan perwujudan Kalam Ilahi dalam sosok manusia.

Dengan demikian, antara Al-Qur’an dan Muhammad saw adalah sepasang washilah yang setimbang bagi manusia untuk sampai kepada Tuhan.

Melalui kedirian seorang Muhammad saw, Al-Qur’an menjadi Kalam Tuhan yang nyata dan hidup dalam sejarah. Muhamamd adalah Al-Qur’an dan Al-Qur’an adalah Muhamamd keduanya ibarat dua sisi mata koin yang tak terpisah.

Jika Al-Qur’an merupakan perwujudan Kalam Ilahi dalam bentuk teks, maka sosok Muhamamd saw yang menghidupkan konteksnya sebagai manusia sejarah dan ia menjadi tipologi ideal sebagai teladan abadi manusia sepanjang sejarah.

Karena Al-Qur’an dan Muhammad saw adalah sepasang perwujudan KalamNya, maka menyapa keduanya di setiap hari-hari kita merupakan panggilan fitrawi kemanusiaan yang senantiasa rindu untuk ”menuhan”.

Membaca ayat-ayat Al-Qur’an dengan lamat dan khidmat serta menyapa nama Muhamamd dengan penuh rindu dan haru pada setiap hari merupakan perwujudan material perwashilahan tersebut.

Dikaitkan denga puasa sebagai gerak ”menuhan” bukan sekadar menjalankan perintah menahan. Maka tak akan pernah tercapai tanpa mengisi hari dan malam-malam suci di bulan suci tanpa membaca ayat-ayat suci dan menyapa sang manusia suci.

Aktivitas ini tentu saja tak boleh terhenti hanya di bulan Ramadhan,namun menjadi pengisi hari-hari kita sepanjang hayat. Karena Al-Qur’an dan Muhamamd saw sebagai guide dalam proses gerak ”menuhan” kita sepanjang hidup.

Akhirul kalam, berpuasalah sebagai gerak ”menuhan” bukan sekadar menjalankan perintah untuk menahan dengan membaca Kalam Tuhan dan senantiasa menyapa sosok Muhamamd Sang Hujjah Tuhan.

One day one juz and one day one hundred shalawat.(***)

Oleh : DR Sabhara Nuruddin-Peneliti Balai Litbang Makasar

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button