Uncategorized

Hikmah Hari ke -17 oleh : DR Sabhara Nuruddin.

M-BhargoNews. Com

Al-Qur’an (2)

Al-Qur’an merupakan manifestasi Kalam yang paripurna dalam wujud teks dan Muhamamd saw adalah manifestasi paripurna Kalam dalam sosok manusia. Secara hakiki, di langit keduanya adalah satu, yaitu Kalam, yang disebut dalam tradisi sufi dengan nama Nur Muhammad, dalam narasi filsafat Paripatetik dinamakan al-aql al-ula atau akal pertama dan dalam pemikiran Isyraqiyah disebut nur al-aqrab (cahaya yang dekat).
Yaitu makhluk pertama yang tercipta langsung dari Allah dengan tanpa perantara, pemikiran tasawuf dan filsafat Islam meyakini hal tersebut. Bahkan diyakini pula, dunia diciptakan karena Nur Muhammad, konsep ini akan banyak kita temukan dalam literatur tasawuf maupun filsafat Islam.

Nabi Muhamamd saw adalah bapak ruhani sedangkan Nabi Adam as adalah bapak jasmani manusia, Dalam hadis riwayat Bukhari disebutkan, ”Aku telah menjadi nabi sementara Adam masih berada di antara air dan tanah berlumpur”.

Surat al-Maidah ayat 15 menegaskan “dwinitas” Muhamamd dan Alquran, “Sesungguhnya telah datang kepadamu Cahaya (Nur) dari Allah dan Kitab yang menerangkan.”.

Karena itulah para ulama sufi dan filosof Islam meyakini betul bahwa Nabi Muhamamd adalah sosok yang ma’shum atau terjaga dari semua kesalahan dan kekeliruan. Karena jika beliau tidak ma’shum berarti Al-Qur’an tidak memiliki personifikasi paripurna yang setimbang dengannya di bumi, sehingga misi keparipurnaannya menjadi ahistori di alam sejarah manusia.

Secara biologis, sosok Muhammad saw adalah manusia biasa (basyaru mitslukum) tapi secara hakikat insani dia sangat istimewa, karena sebagai suri teladan yang mulia atau uswatun hasanah (QS. Ahzab:21). Sebagaimana Al-Qur’an yang berbentuk mushaf secara materi adalah torehan tinta di atas lembaran kertas yang biasa, namun substansinya Al-Qur’an adalah petunjuk yang paripurna bagi manusia untuk menempuh laku hidup di dunia.

Allah membumikan KalamNya melalui teks Al-Qur’an dan sosok Muhamamd bin Abdullah saw sebagai guiden bagi manusia agar bisa “melangitkan” dirinya (“menuhan”) atau manusia kembali dengan hakikatnya yang asasi sebagai makhluk yang paling mulia di Sisi Alah.

Dengan demikian, secara rasional hal ini meniscyakan konsekuensi normatif berupa kepatuhan mutlak dan keberserahan total dengan menjalankan tuntunan Al-Qur’an melalui personifikasi keteladanan seorang Muhammad saw.

Membaca lembaran-lembaran Al-Qur’an dengan khidmat dan kesucian serta meneladani sosok Muhamamd saw dengan penuh kecintaan merupakan langkah awal dari gerak manusia yang hendak “menuhan”. Sehingga syariat agama tidak lagi dipahami sekadar sebagai kewajiban demi meraih surga atau menghindari neraka, melainkan sebagai jalan cinta untuk menggapai keridhaan Allah.

Seluruh ibadah merupakan rangkaian instrumen dari proses perjalanan cinta tersebut. Termasuk diantaranya ibadah puasa yang kita jalankan saat bulan Ramadhan seperti sekarang ini. Sebagaimana yang selalu saya ulang pada pembahasan-pembahasan sebelumnya, hakikat menahan dari ibadah puasa adalah gerak “menuhan” yang dilakukan penuh keberserahan dan kebersahajaan jiwa sebagai konsekuensi cinta sesuai dengan isyarat Al-Qur’an dan petunjuk Muhamamd saw.

Puasa yang “menuhan” tak mungkin lepas dari Al-Qur’an dan Muhamamd saw sebagai spiritnya.

Agar puasa tak pernah lepas dan kehilangan spirit tersebut, maka bacalah Al-Qur’an hingga tamat dan sapalah Muhamamd dengan penuh kerinduan yang khidmat.

One day one juz and one day one hundred shalawat.(***)

Oleh : DR Sabhara Nuruddin-Peneliti Balai Litbang Makasar.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button