Uncategorized

Hikmah Hari ke – 26 Oleh : Dr Sabhara Nuruddin

Allah Swt Pada Surat Al-Takwir Ayat 26 Mengajukan Sebuah Pertanyaan Reflektif Kepada Kita, “fa aina tadzhabun”? (hendak ke mana kalian pergi?).

M-BhargoNews. Com

Quo Vadis (1)

Jika Al-Qur’an mengajukan sebuah pertanyaan, ini menunjukkan adanya jawaban penting yang harus ditangggapi dengan serius. Pertanyaan, “hendak ke mana kalian pergi?”, mempertanyakan tujuan eksistensial kehidupan kita.
Menurut Prof. Nazaruddin Umar, ayat ini seperti menyentak dan mengingatkan kita akan tujuan dan arti perjalanan hidup kita, setelah kita ditempa selama sebulan penuh di bulan Ramadhan.

Pertanyaan tersebut menjadi sebuah renungan dan refleksi diri kita tentang arah jalan kehidupan kita setelah nantinya Ramadhan meninggalkan kita. Betapa meruginya kita, jika kehidupan kita sebelum dan sesudah Ramadhan tidak ada bedanya.

Rasulullah saw mengingatkan dalam sabdanya, ”orang yang hari ini lebih jelek dari kemarin adalah orang yang celaka, orang yang hari ini sama dengan hari kemarin (stagnan) adalah orang yang merugi, dan orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin adalah orang yang beruntung”.

Ramadhan yang akan meninggalkan kita beberapa hari lagi, saatnya kita melakukan refleksi atas Ramadhan kita tahun ini dan proyeksi tentang arah jalan hidup kita sesudah Ramadhan berlalu.
Pertanyaan “fa aina tadzhabun” dalam istilah latin menyebutnya, “quo vadis”, istilah ini ditujukan untuk orang-orang yang berada di persimpangan jalan.

Pertanyaan ini menyiratkan arti, apa sebenarnya tujuan kita dan apa yang akan kita lakukan untuk mencapai tujuan tersebut?.

Dengan kata lain, pertanyaan ini menggugah dan menggugat kesadaran mengenai apa sebenarnya visi dan misi hidup kita.

Nabi Ibrahim as dalam surat al-Shaffat ayat 99 dengan tegas dan lugas menjawab pertanyaan kemana ia pergi, “sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.

Pada surat al-Syams ayat 8, Allah menyatakan kita berada di persimpangan antara jalan fujur (kefasikan) dan takwa. Hendak ke manakah kita?, apakah menuju kefujuran ataukah menuju takwa?. Menjadi fujur atau menjadi takwa adalah pilihan kita, tergantung visi dan misi hidup yang kita hayati dan jalani.
Sedari awal kita sudah mengetahui bahwa ultimate goal dari syariat puasa adalah takwa, dan di saat-saat terakhir Ramadhan ini, adalah saat yang tepat unutk kita merenungi perjalanan Ramadhan kita di tahun ini.

Jangan sampai kita termasuk orang yang sangat merugi karena menyia-nyiakan hadiah Ramadhan yang Allah berikan kepada kita. Sebelum terlambat dan benar-benar merugi, di waktu yang tersisa sebelum Ramadhan benar-benar pergi, refleksi diri menjadi sangat penting.

Ada orang yang di akhir Ramdahan bersuka cita, karena tak lama lagi akan berhari raya, ada pula yang berduka cita melepas kepergian bulan Ramadhan. Nabi saw bersabda bahwa diantara ciri orang beriman adalah bahagia ketika menyambut Ramadhan dan bersedih ketika akan ditinggalkan oleh bulan Ramadhan.

Kesedihan karena ditinggalkan oleh bulan Ramadhan bisa karena dua faktor. Pertama, sedih karena akan ditinggalkan oleh kesempatan untuk mendapatkan berbagai limpahan berkah dan kemuliaan yang Allah curahkan secara penuh dalam bulan ini, sedih karena harus mengakhiri puncak keindahan kenikmatan spiritual. Kedua, orang yang sedih karena tidak maksimal memanfaatkan kesempatan selama Ramadhan yang dijalani, kesedihan yang kedua ini adalah tangisan penyesalan, kesedihan jiwa yang menyesali diri yang masih cenderung lalai dalam memaksimalkan kesempatan yang Allah berikan.

Ada dua tetesan yang Allah sangat senangi, yaitu tetesan darah orang yang berjuang di jalan Allah dan tetesan air mata orang yang takut dan penuh pengharapan kepada Allah.

Menangislah untuk perpisahan ini, menangislah untuk puasa yang masih belum “menuhan” karena puasa yang kita jalani masih sekadar menahan. Semoga dengan tangisan yang tulus dapat memantik titik balik kesadaran dari menahan menuju ”menuhan”.

Fa aina tadzhabun?, dan semoga air mata kita akan menjadi saksi, bahwa kita pergi untuk “menuhan”.(***)

Oleh :  Dr Sabhara Nuruddin – peneliti di Balai Litbang Makasar.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button