Hikmah Hari Ketujuh Oleh: DR Sabara Nuruddin (Peneliti Balai Litbang Agama Makassar)
M-BhargoNews.com-Yaitu upawasa, kata tersebut terdiri atas, upa yang berarti dekat dan vas atau was yang berarti hidup, atau berasal dari kata “wasa” yang berarti Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
Puasa atau upawasa secara etimologis berarti, “hidup dekat” atau “dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa”. Bukan hanya kata puasa yang diambil dari bahasa Sansekerta, kata sembahyang pun demikian, sembah dan Hyang (sembah Tuhan).
Lazimnya kata puasa dan sembahyang digunakan oleh umat Muslim Nusantara menunjukkan salah dua dari sekian banyaknya pengaruh kebudayaan Hindu-Sanskrit terahdap kebudayaan Islam di Nusantara.
Hal ini tidak masalah, karena Islam adalah agama yang terbuka dalam hal asimilasi kebudayaan. Di Timur Tengah Islam mengambil budaya kubah yang berasal dari Kristen-Bizantium, budaya menara dari Majusi-Persia, simbol bulan sabit dari kebudayaan Mesir Kuno, simbol bintang dari kepercayaan Semitis kuno dan masih banyak yang lain.
Kembali ke makna kata “Puasa” yang berarti hidup dekat dengan Tuhan, mencerminkan esensi dan orientasi puasa sebagai sebuah ritus atau tradisi yang ditujukan agar Manusia dekat dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan perintah shiyam dalam al-baqarah ayat 183 yang menyatakan tujuan puasa adalah agar manusia mencapai ketakwaan dan dalam al-Hujurat ayat 13 disebutkan ketakwaan adalah ukuran kemuliaan manusia di sisi Tuhan.
Kenapa ritus puasa merupakan ritus yang disebut dekat dengan Tuhan?. Karena puasa adalah salah satu ritus purba (selain sembahyang dan kurban) yang diperintahkan Tuhan kepada manusia sejak dahulu. Semua agama dan tradisi spiritual menjadikan puasa sebagai salah satu ritual intinya, meski dengan bentuk yang berbeda-beda.
Puasa dalam beragam bentuk tradisi dalah upaya memantangkan diri pada beberapa kesenangan material untuk jangka waktu tertenuu atau bahkan selamanya, misalnya berpuasa dari kesenangan makan daging secara permanen (vegetarian).
Memantangkan diri dari kesenangan material merupakan upaya untuk membebaskan jiwa dari kungkungan hasrat materi, karena materi bersifat fana atau hancur, jiwa yang terkungkung dengan hasrat materi maka jiwa tersebut menjadi hancur atau jatuh dari nilai substansinya yang “tak terbatas” dan “abadi”.
Alam materi sering dikontradiksikan dengan alam spiritual atau alam batin. Alam spiritual adalah dimensi yang halus dari alam ini, sedangkan alam materi merupakan jenjang alam terendah yang berdimensi kasar. Oleh karena itu, agar jiwa manusia mampu menembus alam spiritual ia harus terbebaskan dari kungkungan alam materi.
Hal ini dilakukan dengan cara mengendalikan, menekan, mengurangi, dan bahkan “membunuh” hasrat dan kecenderungan-kecenderungan ragawi untuk selanjutnya berhasrat pada kecenderungan spiritual yang adiduniawi.
Tradisi spiritual sangat menekankan pada latihan atau riyadhah-riyadhah yang sangat ketat dalam ajarannya. Latihan atau riyadah itu bertujuan untuk menajamkan sisi batiniah manusia, dilakukan dengan memperhatikan banyak pantangan-pantangan yang sangat keras.
Pantangan-pantangan tersebut berkisar pada upaya menahan atau menekan hasrat-hasrat biologis atau kecenderungan ragawi manusia lainnya. Seperti makan, minum, seks, serta aktivitas jasmani yang berpotensi melalaikan jiwa.
Puasa menjadi media penting untuk melatih kecenderungan jiwa manusia dalam hal menekan hasrat-hasrat instingtif material guna mengantarkan jiwa manusia menembus alam spiritual dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Dengan puasa, manusia menjadi terlatih untuk mengendalikan hasrat ragawi yang liar, sehingga mampu membebaskan jiwanya untuk “terbang” dan merasakan kedalaman dan keluasan dimensi alam batinnya yang amat halus, sehingga pelakunya mampu menyerap kehalusan alam batin yang amat dahsyat tersebut yang terejawantah dalam kehalusan tutur dan prilaku pada kehidupan sosialnya.
Kejatuhan substansi jiwa/ruhani manusia dalam Alquran disebut sebagai jiwa yang “membinatang”, “…Mereka itu seperti binatang ternak, bahkanlebih sesat lagi, mereka itulah orang-orang yang lalai” (al-A’raf:179). Kejatuhan substansial jiwa manusia juga disebut dalam surat at-Tin ayat 4-5,
”sesungguhnya kami ciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk. Kemudian kami kembalikan mereka ke tempat yang serendah-rendahnya”. Islam sebagai agama yang juga sangat menekankan spiritualitas sebagai inti ajarannya berdasarkan Tauhid sebagai pandangan dunianya. Tentu saja menekankan manusia untuk tidak mengalami kejatuhan substansial ruhani tersebut. Puasa menjadi salah satu pilar penting yang mengantarkan manusia pada ketinggian derajat kemanusiaan (takwa) dan selamat dari kehinaan jiwa yang membinatang (fujur).
Puasa dalam tradisi spiritualitas Islam tidak ditujukan pada hal apapun selain Allah sebagai tujuannya. Puasa sebagai ibadah yang bersifat sangat pribadi antara seorang manusia dengan Tuhannya, melatih kejujuran dan keikhlasan seorang hamba untuk berbakti pada Sang Khalik. Dan Puasa dalam tradisi Islam adalah bentuk implementasi kecintaan orang-orang beriman kepada Tuhan sebagai Kekasih Sejatinya, dan Sang kekasih pun berfirman dalam sebuah hadis qudsi, “Puasa untukKU dan AKU sendiri yang akan membalasnya”. Berpuasalah dengan sebenar-benarnya puasa, karena puasa adalah jalan “menuhan” bukan sekadar menahan.
jum’at 1(satu) mei 2020.
Oleh: DR Sabara Nuruddin (Peneliti Balai Litbang Agama Makassar)