Interpretasi kata “Hulodu”,Simbol atau Metafora?. Oleh : Nizam (Pemerhati Sosial Jarod).

M-BhargoNews.Com
kata “Hulodu” atau dungu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bisa dimaknai sangat tumpul atau tidak cerdas; bebal, atau bodoh.
Rocky Gerung misalnya, memakai kosa- kata tersebut untuk menggambarkan seseorang yang menjawab pertanyaan tanpa berpikir dan bertindak sistimatis.
Bisa dikata RG adalah ikon naratif- diksi ,dalam ciutannya RG malah menyebut, “dungu adalah kata terhormat untuk memantik nalar kaum delusionis-fanatis”.
Belakangan kosa – kata ini kembali ramai digunakan oleh para tokoh yang mengktirisi kebijakan penguasa.
Atau misalnya Bupati Boltim Sehan Landjar yang geram pada tumpang-tindihnya aturan antar Kementrian hingga menyebut Mensos dengan kata “bodoh.”
Dan Katamsi Ginano yang juga menyebut seremonial PSBB yang dilakukan di tengah keramaian oleh Gubernur Gorontalo adalah “kluster hulodu,” menurut seorang kawan”, tulis beliau.
Menyoal diksi yang di gunakan KG dalam tulisan PSBB “hulodu”, sontak mendapat tangapan berfariasi dari berbagai pihak di Gorontalo, entah oleh para “pakar gestur”, politisi hingga sosiolog.
Namun terlepas dari kontroversi yang menyertai tulisan tersebut, sebetulnya “sangkaan” mereka hanya mengkonfirmasi ketidakpahamannya pada narasi yg di bangun Katamsi Ginano dalam konten tersebut.
Beberapa tulisan “counter balik” terkesan nyinyir dan cenderung emosional menanggapi tulisan yg sebetulnya lumrah dalam kaidah kritik.
Kosa-kata “hulodu” atau bodoh sebetulnya pernah digunakan oleh para pejabat tinggi negeri ini.
Sebut saja Yasonna Laoly (mantan kemenkumham) , yang menyebut seorang artis sekaligus aktivis Dian Sastro sebagai “orang bodoh” saat mengkritik sejumlah pasal “kontroversi” dalam RKUHP, apakah Dian Sastro yang jebolan fakultas sastra UI itu bodoh dalam kaidah umum? Tentu maksud pak Yasona tidak seperti itu.
Terlepas dari bagaimana pakar Bahasa mendefinisikan kata ini ,namun sebagian masyarakat tidak memahami kata Dungu/Bodoh/Hulodu seperti apa yang dibawa oleh kaum intelektual, bagi mereka terlepas dari apapun pengertiannya dan pesan apa yang dibawa, sebagian masyarakat masih menggangap bahwa makna peyoratif dalam kata tersebut belum bergeser pada arti sesungguhnya.
Jika tulisan KG di anggap sebagai bentuk “perundungan” ,maka benarlah apa yg di katakan RG, bahwa dungu (hulodu) adalah cara berpikir dan bertindak yang tidak sistematis.
Maka sesungguhnya diksi yang dipakai oleh Katamsi Ginano adalah cara “efektif” untuk memantik nalar kaum delusi-fanatis.(***)
Oleh: Nizam Halla, pemerhati sosial Jarod.