M-bhargonews, Gorontalo. Pengamat kebijakan publik, Umar Karim, menilai, pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah Provinsi Gorontalo hingga kini belum efektif. Hal itu terlihat dari jumlah warga terinfeksi Covid-19 yang tercacat naik secara drastis.
Melalui keterangannya yang kami kutip pada tanyangan wawancara di Mimoza TV, Umar menduga pemerintah provinsi mulai kerepotan dalam penanganan Covid setelaha PSBB.
Dalam keterangannya Umar menyampaikan “Kesimpulan saya tidak sekadar asumtif semata, tapi sesuai angka angka-angka. Ayo coba kita hitung dengan cara yang simpel, yakni pada saat pertama kali PSBB diberlakukan tanggal 4 Mei 2020, jumlah positif Covid-19 di Gorontalo sebanyak 11 orang. Kemudian pada tanggal 20 Mei 2020 atau setelah 16 hari kemudian saat pemberlakuan PSBB ke II, jumlah positif Covid-19 bertambah sebanyak 44. Bila kita presentasikan ada kenaikannya sebesar 400 persen,”
Umar lalu membandingkan pemberlakuan PSBB di Jakarta yang mulai diterapkan sejak 10 April 2020 dengan merinci jumlah warga postif Covid-19 sebanyak 1.810 orang.
“Dalam 16 hari kemudian tepat tanggal 26 April 2020 pemberlakuan PSBB ke II jumlah warga positif bertambah 3.746 orang atau naik sebesar 206 persen. Bila persentase pertambahan positif Covid-19 tersebut dibandingkan dengan Provinsi Gorontalo, maka pertambahannya jauh lebih tinggi dari Jakarta,” papar Umar.
Bahkan menurut Umar, jika Gorontalo dibandingkan dengan daerah Sulawesi Utara (Sulut) yang belum menerapkan PSBB hasilnya sangat mengejutkan. Pada 4 Mei 2020 atau hari yang sama dengan penerapan PSBB pertama kali di Gorontalo, jumlah positif Covid-19 sudah sebanyak 45 orang.
“Lalu 16 hari kemudian tepatnya 20 Mei 2020 jumlah positif Covid-19 menjadi 152 orang atau bertambah 337 persen. Dari angka-angka tersebut terlihat, bahwa meski pemerintah Sulut belum menerapkan PSBB mampu mengendalikan laju pertambahan Covid-19 jauh dibanding Gorontalo,” kata Umar.
“Saya berkesimpulan pelaksanaan PSBB Gorontalo tidak efektif bahkan bisa diduga kuat terdapat permasalahan. Something wrong dalam metodologi penanganan yang digunakan,” sambung Umar.
Menurutnya, salah satu penyebab utama ketidakefektifan penerapan PSBB tersebut lebih dilatarbelakangi oleh lemahnya penegakan hukum.
“Mari kita lihat, masih banyak orang yang berkumpul, masih banyak keramaian di sana sini tanpa ada tindakan pencegahan yang berarti. Padahal prinsip utama penanganan Covid-19 adalah physical distancing,” beber Umar.
Larangan berkumpul sebenarnya sudah diatur dengan tegas dalam Permenkes No 9 Tahun 2020, demikian juga dalam Pergub No 15 Tahun 2020 maupun perubahannya, Pergub No 15 Tahun 2020 yang didalam permenkes sebagai turunan dalam Undang-undang kekarantinaan wilayah dimana PSBB masuk dalam kekarantinaan wilayah maka ada sanksi hukum yang harus diterapkan.
“Tentu terjadinya kerumunan bukan semata-mata dipicu oleh ketidakpatuhan masyarakat, akan tetapi lebih disebabkan lemahnya penegakan hukum. Penanganan Covid-19 tidak bisa hanya menggunakan pendekatan retorik, tapi harus law enforcement. Hukum itu sifatnya imperative, memaksa sehingga hanya hukum yang bisa mencegah kerumunan dan keramaian tak bisa hanya dengan kata-kata imbauan,” tegas Umar.
Jika saja kegagalan dari penganganan Covid-19 diakibatkan karena tidak konsistennya penegakan peraturan yang mengatur pencegahan Covid-19, maka tak ada salahnya jika kemudian kesalahan itu ditimpakan kepada pemerintah.
Umar lalu kembali mengingatkan bahwa ketentuan pasal 11 dalam Pergub No 15 Tahun 2020 sama sekali tidak di hilangkan pada Pergub No 18 Tahun 2020 dimana jelas Pemerintah melarang melaksanakan ibadah di masjid atau ditempat tertentu dan meminta kepada masyarakat untuk beribadah hanya di rumah saja namun faktanya ada salah seorang bupati membolehkan dan itu sudah masuk dalam pelanggaran pasal 11 Pergub No 18 tahun 2020.
Umar juga mempertanyakan parameter yang digunakan pihak rektor UNG yang menilai PSBB Pemerintah Provinsi Gorontalo berhasil, parameternya apa,” ungkap Umar. (AFS)