Pilkada Pohuwato, Pesta Ambisi Berbalut Puisi
Kegelisahan Di Tepi Cagar Alam Tanjung Panjang
Suara debur ombak riuh memecah pantai, aku masih disini, depan pondok kecil milik ayahku di tepian kawasan cagar alam tanjung panjang, dengan segelas kopi tanpa gula….
Pahit…..tapi nikmat….
Pikiranku menerobos waktu mencari harapan disisa puing janji para tokoh politik yang selalu terumbar di setiap pesta politik.
Pesta Politik di depan mata. Pilkada Pohuwato yang akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020. Pesta yang menentukan arah pohuwato kedepan akan jadi apa.
Walau pahit, kalau harapan itu masih ada, aku ingin memberitahu mereka, para elit yang kini akan memperebutkan Takhta :
PERTAMA :
BERHENTILAH berpuisi dan segeralah membuat prosa. Janganlah menjejali publik dengan bait-bait janji dan harapan atas nama “pengalaman”, “rakyat”, “kemampuan”, “karakter”, “ketegasan”, “mentalitas” dan serupanya yang dipidatokan di berbagai momentum dan panggung. Bagi publik, semua itu adalah “puisi janji”, padahal publik hanya butuh “prosa naratif” yang sangat mungkin mampu ditunaikan kelak.
Memerintah itu pada dasarnya bagaikan membuat prosa yang diisi dengan narasi yang “menguraikan” sekaligus “menuntaskan”. Ketika pidato politik hanya menyentuh “langit” elite tapi tak menyentuh “bumi” publik, maka pidato tersebut pun segera masuk dalam kategori puisi janji. Padahal, memimpin daerah dengan berbagai permasalahan yang begitu rumit membutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan teknokrasi yang canggih dan kemampuan pemetaan masalah yang strategis, di samping kematangan yang ditopang oleh pengalaman menyelesaikan masalah-masalah yang nyaris tak terjangkau oleh para pemimpin yang sudah berlalu.
KEDUA.
BERHENTILAH menjual nama rakyat dengan berbusa-busa menyebar tema “demi kepentingan rakyat” yang justru menodai hak azasi dan harga diri rakyat. Bagi rakyat biasa sederhananya saja, pemimpin yang pro rakyat itu adalah pemimpin yang kebijakannya tidak mencekik hak dasar (azasi) rakyat dalam segala aspeknya, bukan yang berbusa-busa janji lalu ingkar janji.
Pada dasarnya di momentum kali ini kami membutuhkan pemimpin yang tidak hanya “ngasal”, tapi butuh pemimpin yang autentik. Autentisitas berbicara tentang karakter yang merasuk ke dalam jiwa publik, kapasitas inspiratif, akuntabilitas dan tentu saja mampu mewujudkan janji politik dalam kehidupan publik ketika kelak memimpin. Semoga momentum kali ini kami warga masayrakat pohuwato benar-benar mampu dan berhasil melahirkan pemimpin yang transformatif..!
Debur ombak dipantai masih saja memukul bibir pantai ini dengan pongahnya,….
Kopi pahit ini masih setia walau tinggal ampasnya….
Dan aku masih disini……ditepi kawasan cagar alam yang hanya akan tinggal sejarah saja karena sudah jadi empang milik saudagar saudagar kaya dari negeri anging mammiri….bukan milik kami……
Tanjung Panjang, 30 Juli 2020
Penulis : Febriyanto Nohi (aktivis LSM LABRAK Pohuwato
Editot : Sonni Samoe