Hikmah Hari Ke – 20 Oleh : Dr Sabhara Nuruddin
Keistimewaan Malam Lailatul Qadr, Karena Malam Tersebut Menjadi Penuh Kemuliaan Dan Keberkahan, Karena Pada Malam itu Kalam Allah dibumikan Secara Paripurna kepada Seorang Manusia Paripurna.
M-BhargoNews. Com
Al-Qur’an – (5)
Surat al-Baqarah ayat 185 secara eksplisit menyebutkan bulan Ramadhan sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an.
Surat al-Qadr ayat 1 secara spesifik menyebut bahwa Al-Qur’an diturunkan di malam Lailatul Qadr, yaitu malam yang lebih utama dari seribu bulan (ayat 3) dan malam yang diliputi keberkahan (ad-Dukhan:3). Dengan demikian malam persisnya Al-Qur’an diturunkan adalah pada malam Lailatul Qadr.
Pendapat umum tentang malam Lailatul Qadr jatuh pada salah satu dari malam ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Pendapat lain meyakini malam Lailatul Qadr jatuh pada salah satu diantara tiga malam (19, 21 atau 23 Ramadhan.
Malam tersebut menjadi penuh kemuliaan dan keberkahan karena pada malam itu Kalam Allah dibumikan secara paripurna kepada seorang manusia paripurna. Pada malam tersebut Al-Qur’an diturunkan sekaligus dari Lauhul Mahfuz ke Baitul Izzah di langit dunia (HR.Nasai dan Hakim).
Turunnya Al-Qur’an dari langit tertinggi ke langit dunia adalah proses gradasi Kalam Allah ke dalam bentuk-bentuk kalimat yang kita kenal seperti sekarang ini.
Alam langit tertinggi (Suhrawardi menyebut dengan nama al-Thabaqah al-Thul dan Mulla Sahdra menyebutnya dengan nama alam Jabarut) merupakan alam universal yang nirbentuk.
Sedangkan langit dunia (al-Thabaqah al-‘Ardh atau alam Malakut) merupakan alam bentuk-bentuk, di alam langit inilah urusan-urusan makhluk-makhluk dunia diatur oleh Malaikat Mudabbiratul Amra atau malaikat pengatur urusan (an-Nazi’at:5). Untuk species manusia, Jibrillah yang menjadi malaikat pengaturnya.
Jibril dalam tradisi Paripatetik (al-Farabi dan Ibnu Sina) adalah al-Aqlal-Asyir atau akal kesepuluh atau akal aktif (al-aqlal-faal).
Suhrawardi dalam filsafat Isyraqiyah menyebut Jibril dengan sebutan Rabb al-anwa’ al-Insan yang disamakan dengan jiwa suci (Holy Spirit) dan Jiwa Nabi Muhamamd saw. Jibril diidentikkan dengan fungsi wahyu, karena Jibril menjadi penyingkap tertinggi semua pengetahuan.
Sosok Jibrillah sebagai akal aktif atau wahib al-shuwar (pemberi bentuk) yang “menerjemahkan” Kalam Allah menjadi kalimat-kalimat yang dapat dipahami oleh manusia. ke dalam hati Nabi (QS. as-Syu’ara:193-194) yang nantinya akan disampaikan secara berangsur-angsur kepada manusia.
Apakah Nabi saw sejak awal tidak mengetahui Kalam Allah yang turun ke langit dunia?, atau dengan pertanyaan yang lebih sederhana, apakah Nabi saw baru mengetahui ayat Al-Qur’an setelah Jibril menyampaikannya?. Jika kita memahami hakikat Nabi Muhamamd secara teosofi, tentulah Nabi saw telah mengetahui keseluruhan redaksi Al-Qur’an sejak awal diturunkannya ke langit dunia.
Jibril sebagai penyampai wahyu adalah identik dengan akal aktif atau jiwa suci Nabi, sehingga mustahil Nabi saw tidak mengetahui sejak awal keseluruhan Kalam yang telah turun, selain itu hakikat ruhani Nabi saw jauh melampaui langit dunia. Secara hakiki derajat atau maqam Nabi saw jauh lebih tinggi dari Jibril sebagai pemimpin langit dunia, itu sebabnya ketika peristiwa Mikraj, pada sebuah station Jibril harus terhenti dan Nabi saw melanjutkan Mikrajnya tanpa didampingi oleh Jibril.
Kalangan teosofi berargumen dengan dasar surat al-Qiyamah ayat 16, “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca Al-Qur’an) karena hendak cepat-cepat (menyampaikannya)”. Ayat ini merupakan isyarat bahwa Nabi telah mengetahui keseluruhan redaksi Al-Qur’an hanya saja diperintahkan untuk bertahap dalam menyampaikannya.
Kalangan yang berpandangan Nabi saw tidak mengetahui ayat Al-Qur’an sebelum Jibril menyampaikan kepadanya, menerjemahkan ayat tersebut dengan kalimat, “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca Al-Qur’an) karena hendak cepat-cepat (menguasainya)”. Dikatakan bahwa ayat ini merupakan teguran kepada Nabi yang selalu terburu-buru dalam membaca wahyu yang turun karena ingin cepat-cepat menghafalnya, padahal Jibril belum selesai membacakan wahyu tersebut kepada Nabi saw.
Al-Qur’an turun kepada Sang Teladan yang Agung ,ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat -185 ditujukan sebagai petunjuk bagi manusia dan sebagai furqan (pembeda antara yang haq dan batil).
Ketiga aspek tujuan Al-Qur’an bagi manusia tersebut seimbang dengan sosok Nabi saw yang oleh Al-Qur’an ditegaskan sebagai uswatun hasanah, yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dengan demikian mempertegas “dwinitas” Nabi saw dan Al-Qur’an sebagai dua manifetasi kebenaran yang hakikatnya adalah satu.
Melalui Al-Qur’an dan pribadi Nabi saw, manusia dapat sampai pada karunia yang besar, yaitu hikmah dan untuk dianugerahi hikmah, Al-Qur’an menekankan hanya orang memfungsikan kerja akalnya yang dapat mengambil pelajaran dari Firman Allah (QS.al-Baqarah:269). Al-Qur’an, Nabi saw dan akal adalah “triadik” kebenaran yang mengantarkan manusia untuk”menuhan”.
Bulan Ramadhan yang Agung adalah bulan turunnya Al-Qur’an yang Agung dan bulan di mana Nabi saw mencapai Puncak pencerahannya yang agung. Oleh karenanya, agungkanlah bulan ini dengan lisan yang menamatkan FirmanNya yang Agung dan lisan yang senantiasa menyampaikan salam kerinduan pada Sang teladan Agung.
Puasa Ramadhan yang diisi dengan lisan yang membaca firman dan shalawat kepada junjungan, menjaga hati untuk tetap dalam kesucian serta mengoptimalkan akal pada permenungan adalah puasa orang yang “menuhan”, bukan puasa orang-orang yang sekadar menahan.
One day one juz and one day one hundred shalawat.(***)
Oleh : Dr Sabhara Nuruddin – peneliti di Balai Litbang Makasar.