HOME

Hikmah Hari Nishfu Ramadhan. Oleh : DR Sabhara Nuruddin.

M-BhargoNews. Com

Takwa adalah karakter paripurna kemanusiaan dan penentu ketinggian derajat ruhani seorang manusia di hadapan Tuhan.

Dalam Alquran banyak ayat yang menerangkan bahwa Allah akan memberikan pencerahan, kemudahan, kemurahan dan pengampunan bagi orang-orang yang mencapai derajat takwa.

Seluruh anugerah tersebut tentu tidak dinikmati sendiri melainkan ditebarkan sebagai rahmat kepada sesama setidaknya melalui tiga bentuk amal perbuatan.

Surat Ali Imran ayat 133-134 merinci karakteristik orang bertakwa yang kepadanya dijanjikan surga yang luasnya meliputi langit dan bumi. Yaitu senantiasa menginfakkan hartanya dalam keadaan lapang maupun sempit, menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang kepadanya.

Dengan demikian, sifat dermawan, sabar dan pemaaf menjadi penciri ketakwaan seseorang. Dengan kata lain, takwa mengantarkan seseorang menjadi pemurah, pengasih dan pemaaf.

Seorang yang bertakwa akan menjadi manusia yang pemurah dan senantiasa mendermakan hartanya bukan hanya dalam keadaan lapang bahkan dalam keadaan sempit atau sulit.
Rezeki berupa harta dipahami secara penuh sebagai titipan Alah yang diterima dengan penuh syukur.

Orang yang bertakwa adalah orang yang kanaah dengan hartanya dan zuhud terhadap dunianya. Akhirnya dengan ringan ia akan berbagi tak peduli keadaan lapang maupun sempit.

Orang bertakwa akan memahami dirinya sebagai orang yang dipilih Tuhan untuk menyalurkan kemurahan-nya kepada sesama. Ikhlas yang menjadi landasan perbuatannya membuat kedermawanannya melampaui hitung-hitungan materi, karena baginya harta yang ia dapat berasal dari Allah dan dikembalikan kepada Allah dengan cara disalurkan kepada sesama.

Orang bertakwa telah sampai pada realisasi konsep moral tertinggi yaitu dengan tidak lagi melihat keterpisahan antara dirinya dan orang lain, melainkan ia melihatnya sebagai satu kesatuan dalam ketunggalan Wujud Tuhan.

Perintah puasa merupakan riyadah bagi jiwa untuk berserah secara total pada Tuhan dan memantik empati kemanusiaan. Melalui lapar yang dirasakan, Allah hendak mendidik jiwa untuk empatii dan berbagi.

Ketenangan jiwa menjadi karakteristik orang yang bertakwa melahirkan kestabilan emosi sehingga tidak mudah terpantik amarahnya. Ketercerahan akal dan kesucian hati menjadi pengontrol emosi.

Meskipun dalam kondisi tertentu dibenarkan untuk marah, namun kehati-hatian akal dan ketenangan hati membuat ia hanya menyalurkan kemarahan bila jelas kemanfaatannya. Menahan marah memang sangatlah sulit, itu sebabnya puasa menjadi simulasi dan riyadhah bagi kita untuk mengontrol emosi sehingga tidak mudah tersulut amarah.

Menurut Sayyidina Ali, “kemarahan diawali dengan kegilaan dan diakhiri dengan penyesalan”.

Orang yang marah adalah orang yang gelap mata dan hilang akal, sehingga tanpa berpikir melakukan tindakan destruktif yang berakhir pada penyesalan.

Puasa yang “menuhan” dilakukan bukan sekadar menahan makan dan minum tapi dengan ketahanan mengendalikan diri dan menahan amarah.

Nilai rahmah atau kasih-sayang dari Ramadhan terinternalisasi dan menghadirkan ketenangan jiwa yang melahirkan kestabilan emosi.
Menjadi pemaaf merupakan cerminan karakter yang tampak pada seorang yang mengggapai predikat takwa.

Karena jiwa yang tenang dan emosi yang stabil membuatnya tak pernah tersandera dendam kepada siapa pun yang telah menyakitinya.

Memaafkan (al’afwu) berarti al-mahwu atau menghapus. Sebagaimana Allah yang telah menghapus semua kesalahannya, maka orang yang bertakwa tentu juga akan menghapus kesalahan-kesalahan orang kepada dirinya.

Memaafkan memang bukan hal yang mudah, apalagi ketika kita memiliki kemampuan untuk membalas kesalahan orang lain. Perintah memaafkan dalam Alquran sangat banyak dan Alquran menyebut memaafkan sebagai sebuah kemuliaan.

Bulan Ramadhan sebagai bulan dengan limpahan penngampuan (maghfirah) dari Allah berarti mendidik insan-isnan yang berpuasa untuk menjadi pemaaf sebagaimana Allah yang telah mengampuni kesalahannya.

Puasa yang “menuhan” dan bukan sekadar menahan adalah puasa yang mengubah pelakunya dari kikir menjadi dermawan, dari pemarah menjadi penyayang serta dari pendendam menjadi pemaaf.

Ketiga sifat tersebut juga menjadi indikator praktis untuk kita menilai sejauh mana keberhasilan puasa yang telah kita jalankan di tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya. Jika kita masih bersifat kikir, pemarah dan pendendam, berarti puasa kita baru pada level menahan dan belum “menuhan”.(***)

Oleh : Sabhara Nuruddin-peneliti balai Litbang Makasar.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button