Hikmah Hari Ke -19 Oleh : DR Sabhara Nuruddin.
Agar Selamat Dari ”Mabuk Agama”, Perlu Optimalisasi Sinergi Petunjuk Al-Qur’an, Sunnah (teladan) Nabi Serta Kecemerlangan Akal Sebagai “Triadik” Kebenaran Dan Keselamatan.
M-BhargoNews. Com
Al-Qur’an (4)“
Hukum itu milik Allah wahai Ali, bukan milikmu dan para sahabatmu”, teriakan Ibnu Muljam menggema, memecah keheningan subuh di Kota Kufah.
Sembari melantunkan Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 207, “Dan di anatara manusia ada orang yang mengoorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah dan Allah Maha Penyatun kepada hamba-hamabaNya”, ia menebaskan pedang beracun tepat di kepala Ali bin Abu Thalib yang saat itu sedang sujud mengimami salat Subuh di Masjid Kufah.
Peristiwa tragis tersebut terjadi di salah satu subuh bulan Ramadhan 41 Hijriyah (dalam riwayat disebutkan peristiwa tersebut terjadi tanggal 17 atau 19 Ramadhan). Korbannya adalah Ali bin Abu Thalib Sang Manusia Qur’ani dan pelakunya adalah Ibnu Muljam seorang penghafal Al-Qur’an. Kepala sang Ahli Sujud itu ditebas dengan keji oleh seseorang yang juga sering sujud kepada Allah. Tebasan pedang bukan membuat Ali mengaduh, malah ia justru berseru, Fuztu wa Rabbal Ka’bah” (Beruntunglah aku demi Tuhan Pemilik Ka’bah).
Kematian ia jemput dengan perayaan kemenangan. Sebaliknya, Ibnu Muljam juga merasa telah menjalankan amanah kebenaran dengan membunuh jawara Islam tersebut. Ketika hendak dieksekusi, Ibnu Muljam berpesan, “Wahai algoojo jangan kau penggal kepalaku sekaligus, tetapi potonglah anggota tubuhku sedikit demi sedikit, hingga aku bisa menyaksikan anggota tubuhku disiksa di jalan Allah”.
Siapa yang menyangsikan kemuliaan dan keutamaan seorang Ali bin Abu Thalib, sepupu dan menantu Nabi, Dalam sebuah riwayat disebutkan ia dilahirkan di dalam Ka’bah dan besar dalam asuhan rumah Nubuwwah. Manusia kedua dan lelaki pertama yang mengimani risalah Muhamamd saw.
Pembelaannya terhadap Nabi dan pukulan pedangnya di berbagai peperangan membuat Islam mampu bertahan dari berbagai gempuran. Lalu siapakah pembunuhnya?, Abdurrahman Ibnu Muljam adalah seorang yang juga bersyahadat, ahli ibadah dan hafal Al-Qur’an, ia digelari dengan julukan al-Maqri’.
Ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah, Ibnu Muljam diutus ke Mesir untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada penduduk negeri piramida itu. Semua ibadah dan hafalan Al-Qur’an Ibnu Muljam tidak berguna, karena hati dan pikirannya telah diliputi racun seperti racun yang ia torehkan pada pedangnya untuk menebas Ali.
Bacaan Al-Qur’annya yang merdu hanya sampai di kerongkongan, tidak menembus hatinya yang beku. Hafalan Al-Qur’annya hanyalah tumpukan memori yang tak mencerahkan akal pikirannya, sujudnya hanya membekas pada jidat yang menghitam dan sama sekali tak meninggalkan jejak kearifan Islam yang penuh rahmat.
Ibnu Muljam adalah personifikasi seroang yang didera “mabuk agama”, pembaca dan penghafal Al-Qur’an yang tidak Qur’ani, ahli ibadah yang tak memperoleh hikmah. Ia mendengungkan seruan “kembali kepada Al-Qur’an”, namun justru prilakunya menodai kesucian Al-Qur’an. Sosok Ibnu Muljam menggambarkan betapa bahayanya kesalehan tanpa ilmu dan betapa celakanya ibadah tanpa dibarengi kearifan.
Orang yang semangat dan militansi agamanya membara namun tidak ditunjang dengan ilmu dan kearifan sangat rentan terkena “mabuk agama”. Disebut demikian, karena akalnya “hilang” seperti orang yang mabuk, dan kemabukannya justru karena semangat keagamaannya tersebut. Beragama dengan hawa nafsu yang menghasilkan delusi dan perasaan paling benar sendiri, sehingga tindakan destruktif acapkali tak terhindarkan seperti yang dilakukan Ibnu Muljam.
Akhirnya, meskipun dibungkus oleh semangat keagamaan namun yang diperoleh hanyalah kehinaan, sebagaimana janji Allah, Dia akan menghinakan orang-orang yang tak menggunakan akalnya (QS. Yunus:100). Di tangan mereka, agama menjadi kehilangan fungsi vitalnya sebagai jalan keselamatan, karena yang mereka tunjukkan justru prilaku yang membawa kerusakan.
Meskipun rajin ibadah namun tidak ditunjang dengan ilmu seperti sabda Nabi saw, “Ahli ibadah yang bodoh akibat kebodohannya dapat mendatangkan musibah yang lebih besar dibandingkan dengan kemaksiatan yang dilakukan oleh orang yang zalim”.
Agar selamat dari ”mabuk agama”, perlu optimalisasi sinergi petunjuk Al-Qur’an, Sunnah (teladan) Nabi serta kecemerlangan akal sebagai “triadik” kebenaran dan keselamatan.
Menjalankan puasa sebagai “madrasah” pencerahan ruhani agar bisa “menuhan” berarti puasa yang memaksimalkan aktivasi “triadik” kebenaran tersebut.
Yaitu puasa yang dijalankan disertai dengan permenungan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, membaca Al-Qur’an untuk menggapai pencerahan serta mengikuti tuntunan Nabi saw sebagai teladan.
Itulah puasa ruhani yang “menuhan”, bukan sekadar puasa jasmani yang hanya menahan.
One day one juz and one day one hundred shalawat. (***)
Oleh : DR Sabhara Nuruddin-Peneliti di Balai Litbang Makasar.