HOME

Hikmah Hari Ke – 27 Oleh : Dr Sabhara Nuruddin

Fa aina tadzhabun?, “Hendak Kemana Kamu Pergi?”, Maka Jawabannya sebagaimana jawaban Nabi Ibrahim as, “Sesungguhnya Aku Pergi Menghadap Kepada Tuhanku dan Dia akan Memberi Petunjuk kepadaku”.

M-BhargoNews. Com

Quo Vadis (2)

Jalan kehidupan manusia adalah gerak “menuhan”, dalam bahasa Al-Qur’an derajat “menuhan” disebut takwa, yang karenanya seseorang menjadi mulia.

Gerak ”menuhan” meniscayakan pengetahuan (ma’rifat) tentang Dia, karena pangkal agama adalah ma’rifat tentang Dia, sebagaimana dituturkan oleh Sayyidina Ali bin Abu Thalib.
Ma’rifat juga adalah pucnak dari agama, bedanya di awal kita mengenal Dia dengan ilmu dan di puncak kita mengenal Dia melalui penyaksian (musyahadah).

Di atas iman ada ihsan, yaitu “engkau menyembah Allah seakan engkau melihatNya, bila engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” (Hadis Riwayat Muslim).
Fritjouf Schoun atau Muhamamd Isa Nuruddin, filosof perennial abad 20 kelahiran Swiss, menyebut ihsan adalah inti dari esoterisme (hakikat) ajaran Islam. Menurut Schoun, ihsan adalah tindakan kebajikan yang didasari pada keyakinan dan melaksanakan nilai-nilai yang menyempurnakan.

Secara ringkas, ihsan adalah ketulusan dari kehendak dan intelegensia yang merupakan keterikatan total pada kebenaran dan kepatuhan sepenuhnya kepada hukum. Dengan demikian, ihsan adalah kesatuan intensi antara dimensi syariat (eksoteris) dan dimensi hakikat (esoteris), menggapai hakikat melalui kepatuhan penuh terahdap syariat.

Menurut Sachiko Murata dan William Chittick, ihsan adalah melakukan apa yang indah (memperindah). Ihsan adalah intensionalitas manusia, mengapa mereka melakukan dan apa yang mereka kerjakan yang menghadirkan motivasi dan kualitas psikologis seseorang yang selaras antara perbuatan dan pemahaman.
Ihsan adalah totalitas pikiran, keyakinan dan kehendak dengan seluruh apa yang kita miliki. “Berihsanlah kamu sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu” (QS. al-Qashash:77).

Ihsan sebagai sebuah totalitas karena ihsan adalah level kesadaran Tauhid yang paripurna, yaitu kesadaran akan penyaksian pada Allah swt. Suatu hari Sayyidina Ali bin Abu Thalib ditanya oleh seseorang, “bagaimana mungkin engkau menyembah Tuhan yang tidak engkau lihat?”. Beliau kemudian menjawab, ”saya tidak mungkin menyembah Tuhan yang tidak aku lihat”.

Penyaksian di sini tentu saja bukan penyaksian empiris dengan mata indrawi (bashir), tapi penyaksian dengan mata batin (bashirah). Dalam studi tasawuf, level ini disebut maqam musyahadah atau penyaksian, sebuah level tertinggi dalam jenjang maqam tasawuf.
Tentu saja hanya sebagian sangat kecil orang atau hanya orang-orang yang sangat khusus saja yang sampai pada level ini. Ihsan dalam konteks orang awam seperti kita adalah, “bila engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”, yaitu kesadaran Tauhid praktis tentang ke-Maha Penyaksi-an Allah atas segala sesuatu, Dia Maha Menyaksikan apa yang kita lakukan, apa yag kita pikirkan dan apa yang kita rasakan.

Menurut Sachiko Murata dan William Chittick, ihsan dijabarkan dalam praktik kesadaran melihat Allah, melalui ibadah, dengan dasar cinta, dilaksanakan dengan warak (kehati-hatian) dan berimplikasi maslahat.

Allah menyeru orang-orang beriman untuk melaksanakan syariat puasa pada dasarnya untuk mengajak orang-orang beriman naik level dari iman ke ihsan. Puasa adalah edukasi kepada ruhani untuk mencerap kesadaran ihsan.

Jika kita renungkan saat kita melaksanakan puasa, jangankan untuk membatalkan puasa, berpikir untuk itu saja tidak, meski kita jauh dari pandangan manusia kita tetap menjaga puasa karena yakin Allah melihat kita. Ketika beerpuasa, kita penuh kehati-hatian, kita menjaga tindakan, lisan bahkan pikiran agar tidak menodai puasa kita, jika kita renungkan, ini adalah kesadaran ihsan.

Puasa sebagai ibadah yang sangat privat, di mana dalam pelaksanaannya hanya kita dan Allah saja yang benar-benar mengetahui apakah kita sedang berpuasa atau tidak, sesungguhnya berorientasi menanamkan kesadaran ihsan yang tidak hanya bersifat temporer selama kita berpuasa saja, tapi kesadaran yang bertahan hingga seterusnya (permanen).

Fa aina tadzhabun?, “quo vadis” setelah Ramadhan?, maka jawabnya adalah permanensi kesadaran ihsan, hingga puasa kita tidak hanya sekadar menahan yang bersifat temporer, tapi puasa kita “menuhan” secara permanen.Puasa yang menahun dalam Tuhan, bukan puasa yang sekadar menahan selama sebulan.

Akhirnya, bukan pada saat bulan puasa saja kita berhati-hati dan mengendalikan diri, pasca Ramadhan pun kesadaran ihsan menuntun untuk menjadi insan yang lebih berhati-hati dan mengendalikan diri, karena pengetahuan, keyakinan dan tindakan telah total pada kesadaran bahwa Allah Maha Penyaksi.

Itulah puasa orang yang “menuhan” bukan puasa yang hanya sekadar menahan.

Oleh : Dr Sabhara Nuruddin-Peneliti di Balai Litbang Makasar.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button