HOME

Hikmah Hari ke – 28 Oleh : Dr Sabhara Nuruddin.

Quo vadis Setelah Pelaksanaan Puasa, Maka Secara Syariat Adalah Menunaikan Zakat (Fitrah).

M-BhargoNews. Com

-Quo Vadis (3)

Ibadah zakat fitrah merupakan penggenap dari seluruh rangkaian ibadah Ramadhan. Rangkaian ibadah Ramadhan yang kita lakukan (puasa, salat dan lainnya) merupakan ibadah yang bersifat vertikal-ritual secara privat antara kita dengan Allah, sedangkan zakat adalah ibadah yang bersifat horisontal-sosial antara kita dengan Allah melalui perantara manusia.

Zakat sebagai penggenap dari rangkaian ibadah Ramadhan, secara simbolis menunjukkan keseimbangan ajaran Islam dalam hubungan vertikal-teologis dan horisontal-sosiologis. Hal ini juga mempertegas Ibadah Ramadhan tidak hanya berdimensi dan berorientasi ritual an sich melainkan juga berdimensi dan berorientasi sosial. Ibadah zakat sebagai pamungkas, menunjukkan bahwa orientasi dari puasa Ramadhan diantaranya membentuk kesadaran pribadi yang selalu ingat berbagi.

Pribadi yang menyadari bahwa di sebagian hartanya ada hak orang lain di dalamnya, sehingga di antara hikmah puasa yaitu memantik empati sosial dan menjauhkan diri dari siat kikir dan tamak pun terealisasi.

Disebutkan dalam hadis riwayat Ibnu Majah dan Abu Dawud bahwa zakat fitrah adalah pembersih bagi orang-orang yang berpuasa. Zakat secara simbolik membersihkan kotoran-kotoran ruhani yang menghalanngi kita untuk “menuhan”, yaitu kotoran kikir dan tamak.

Hal yang menarik dari perintah zakat dalam Al-Qur’an karena selalu digandengkan denngan perintah salat. Sebanyak 24 kali Al-Qur’an menggandengkan kalimat, “dirikan salat dan tunaikan zakat”. Menurut Sayyidina Ali bin Abu Thalib dalam Nahj Balaghah Khutbah ke 189, “zakat yang ditetapkan bersama perintah salat sebagai suatu pengorbanan yang disampaikan kepada umat Islam”.

Salat merupakan refleksi dari kesalehan ritual, sedangkan zakat adalah refleksi kesalehan sosial keduanya merupakan refleksi ketaatan manusia yang bersifat vertikal dan horisontal. Keduanya juga merupakan tujuan substantif agama di turunkan oleh Allah kepada manusia dalam dua dimensi yang seimbang. Menurut KH. Masdar F Mas’udi penggandengan perintah salat dan zakat itu mengandung makna yang sangat dalam. Perintah salat, dimaksudkan untuk meneguhkan keislaman jati diri manusia sebagai hamba Allah pada dimensi spiritualitasnya yang bersifat personal. Sedangkan perintah zakat, dimaksudkan untuk mengaktualisasikan jati diri Manusia pada dimensi etis dan moralitasnya yang terkait dengan realitas sosial. Keduanya tidak bisa terpisahkan, yang pertama, merupakan sisi pencarian personal yang subyektif dan transenden terkait dengan Tuhan sebagai obyek pencarian. Sedang yang kedua, sisi keislaman yang terkait dengan Tuhan sebagai obyek cita pencarian sosial yang obyektif dan Imanen.

Dalam Al-Qur’an, Allah menggandengkan perintah zakat dengan perintah salat, namun dalam pelaksanaannya, khususnya zakat fitrah digandenngkan dengan pelaksanaan puasa Ramadhan. Menunaikan zakat setelah pelaksanaan puasa secara implisit terkait dengan pesan permanensi kesadaran ihsan sebagai orientasi quo vadis setelah Ramadhan. Melalui zakat, ihsan akan menjadi identitas penghambaan kepada Allah melalui perantara pengabdian terhadap sesama. Berkali-kali Rasulullah saw menekankan bahwa indikator keimanan seseorang (kepada Allah dan hari akhir) adalah pada amalannya yang bersifat sosial. Seperti dalam sabda suci beliau saw. “Tidak beriman seseorang kepada Allah dan hari akhir jika ia tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya tidur dalam keadaan lapar”, “barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Masih banyak hadis Rasul saw lainnya yang senada dengan itu, yang secara eksplisit menegaskan bahwa keimanan diukur dengan prilaku sosial.

Quo vadis setelah Ramadhan?, mari kita baca hadis Nabi saw, “sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberi manfaat bagi sesama”. Dengan demikian pasca Ramadhan adalah waktu untuk mengukur sejauh mana puasa kita telah “menuhan” atau jangan-jangan puasa kita baru sebatas pada level menahan. “Menuhan” berarti juga memanusia, dalam artian mencerminkan akhlak Allah dalam konteks kemanusiaan, yang diantara akhlak tersebut adalah menjadi pengasih dan pemberi kepada mereka yang berkekurangan.

Menahun dalam Tuhan merupakan quo vadis setelah Ramadhan, menahun dalam Sifat Kasih-Sayang Tuhan untuk ditebarkan kepada seluruh ciptaan Tuhan.

Itulah ciri puasa yang “menuhan”, bukan sekadar puasa yang hanya menahan.

Oleh : Dr Sabhara Nuruddin – Peneliti di Balai Litbang Makasar.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button